CERITA DEWASA PENARI JALANAN MANIS MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN MANIS MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN MANIS MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak49  Seluruh orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban agar tidak tersisih, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun maknanya gak hanya itu. Denok pula bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda merupakan seseorang penari, serta masih ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak mempunyai banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih sebab Bapak sudah tak ada, dan juga kebingungan karena beberapa waktu seusai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil alih agen judi yang berikan hutang terhadap Bapak. Kami tidak punyai tujuan tempat, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak butuh ijazah, lawan begitu banyak. Pada akhirnya sehabis cukuplah lama mengamati beragam peluang yang ada, Simbok memilih untuk manfaatkan ketrampilan kami. Hanya modal busana dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun mula kuliah, serta yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak ringan  cari uang lewat langkah seperti berikut, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Serta tidak di semua tempat kami dapat memperoleh pemirsa yang siap bayar, kadangkala kami justru ditendang atau dihardik. Sehabis cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau sering helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun umpamanya dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memang memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok  dari dahulu terus membimbing dan mengingati saya untuk menjaga badan walau dengan simple, jadi meskipun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pula sich kalaupun di sebut saya montok. Tidak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus risau dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula kuat karena sebab dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang kira demikian. Terherannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruh orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok segalanya ngomong saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pula diberi gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang menonton."


Makin lama saya biasa pun menggunakan dandanan begitu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, sesaat bila nikah betulan perlu kayak apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, bencana ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya sejak mulai ketabrak  Simbok sudah tidak ada impian, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penyemayaman, justru perlu berutang kemanapun. Saya gak bisa menyelenggarakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja lantaran begitu berduka. Barangkali tiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya pun perlu lawan banyak tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kepelikan saya . Sehingga, 1 minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang punyai sewaan. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, ucapnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN MANIS MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana metodenya biar kelak bila pulang telah memiliki cukup uang untuk bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu sekedar mengenal beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk ongkos penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram tetapi tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari buat membayar sewaan. Bila berjualan, saya tidak mempunyai apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut. WAJIB 4D


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, namun apa perlu lewat langkah sebagai berikut? Tetapi jika tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak punyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah terlihat muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani membawa kepala, tetapi kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang tunjukkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya masih kuatir. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Jika tidak ingin ya telah," ucapnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki buka-bukaan ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu tadi diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta membeberkan kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya telah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi tidak tahu mengapa, saya pun kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan terus menerus menyaksikan sekujur badan saya, sembari memberi pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama